Ibu, aku ijinkan jika kau menikah lagi.
Terserah, Alloh tahu mana
yang pantas untukku. Mana yang cocok untuk kehidupanku.Alloh yang telah
memasangkan antara jiwa dan raga ini. Untuk adikku yang matanya selalu berkaca
kaca. Untuk ibuku yang selalu tertawa agar tak terlihat bersedih. Untuk kakakku
yang bersikap apatis, padahal perduli. Untuk bapakku yang selalu ingin berubah.
Untuk saudara saudaraku yang menganggap aku anaknya sendiri padahal mereka
memiliki beban yang begitu bertumpuk.
Author:Fullin Rakhmawadah
Hidup memang tidak sesuai jalan yang kita
inginkan, tapi tujuan itu terlihat jelas, sekali lagi hanya jalannya yang
berbeda. Banyak di dunia ini kasus yang bisa kita lihat. Banyak orang sukses
yang memiliki cerita hidup yang perlu kita pelajari. Mungkin cerita ini seperti
cerita fiktif, hanya karangan seorang gadis yang ingin menjadi seorang penulis.
Tapi semua itu salah, cerita ini bukan fiktif tapi nyata dan tidak ada yang di
buat buat.
Cerita ini aku alami sendiri, kisah hidup
yang benar benar aku jalani. Dan dengan tujuan aku ingin orang lain tahu, bahwa
hidup kita adalah yang pas untuk kita. Yang tuhan pilihkan untuk kita. Dan ini
isi hati yang ingin aku bagikan untuk semua orang.
Aku hidup dengan seorang janda. Wanita
cantik penuh dengan tanggung jawab. Dia berusia sekitar 42 tahun, tapi wajahnya
seperti wanita berumur 39 tahun. Matanya indah, senyumnya menarik. Aku
mengenalnya dari sejak aku lahir, di tambah 9 bulan aku di dalam kandungannya.
Sudah 18 tahun aku hidup bersamanya. Dan sudah selama itu pula aku mengenal
seluk beluk tentangnya. Apa yang dia sukai, apa yang dia benci, suasana apa
yang dia mau, dan siapa saja yang ia ingin temui aku tahu. Aku paham benar.
Aku tahu, apa saja yang membuat dia
menangis apa saja yang membuat dia tersenyum apa saja yang membuat dia hancur,
dan siapa saja yang membangkitkannya. Semua ia lalui dengan senyuman, walau
pernah ibaratnya pisau pun hampir menggores tangannya. Mungkin ia berfikiran
kalau sakit goresan itu takkan pernah bisa menggantikan rasa sakit hati yang
selama ini ia rasakan.
6 tahun yang lalu,
Suara tangisan terdengar dari bilik kecil
yang aku sebut kamar. Aku lihat pelan pelan saat itu. Aku lihat sosok wanita
memakai baju putih celana hitam, dan berjilbab terlihat dari belakang, sedang
merangkul dua bantal sesekali mengusap wajahnya.
“ibu kenapa?” tanyaku
“Tanya bapakmu sendiri, kenapa ibu bisa
seperti ini” (mengusap air matanya)
“pak… kenapa ibu bisaaa…” belum selesai aku
bicara bapakku datang dengan keaaan yang sangat tergesa-gesa.
“sri, maksudmu apa sri? Apa salahku?” bicara pada ibu lalu bapak memalingkan muka
dan menghadapku sembari bicara “lihat
kelakuan ibumu, apa pantas seorang istri seperti itu?”
Lalu bapak mulai bicara pada ibu lagi
“maumu apa sri maumu? Aku capek kalau seperti ini terus..”
“kamu Tanya mauku apa? Kamu mau tahu mauku
apa bambang?? Aku mau kamu sudahi semua ini. Biarkan aku mencari uang dengan
tenang bambaaaang!!!???”
Wanita itu beranjak dari tempat tidurnya
yang berbunyi, lalu ia mendorong suaminya yang sedang berdiri. “apa salahku
hah? Apa kamu tidak suka aku mencari uang??”
“ya!! Aku tidak suka cara kamu mencari
uaaanng, aku mau kamu berhenti bekerja. Aku mau kamu berhenti bekerja dan manut
dengan aku. Aku bisa mencari uang, bisaa!!!!” kata bapakku,
“pekerjaanku tidak haram! Ini pekerjaan
halal, aku mencari uang dengan mengumpulkan satu persatu baju yang aku jahit,
aku rangkai. Apa itu salah? Lalu selama ini apakah kamu menghasilkan uang??
Sekolah anak anak siapa yang bayar?? Apa itu pakai uang mu??” ibuku menangis tak
tertahankan.
“jadi maumu apa sri?!! Aku hanya ingin kau
menjadi wanita rumahan menjaga anak anak, apa itu salah??” kata bapak,
“salah? Itu sangat benar bambang, benar
benar sangat benar. Tidak satu huruf pun salah dari mulutmu. Aku mau, mau
sekali jadi istri rumahan yang setiap hari menerima uang dari jerih payah
suaminya. Tapi apa kamu bisa memberikannya?? Atau kamu akan menjual beberapa
pohon kayu untuk membuat aku tidak berkutik?? Lam lama aku yang kamu jual!!”
kata ibuku panjang lebar.
Lalu mas ku datang dengan membawa pulpen di
tangannya. Karena ia memang sedang belajar sebelumnya.
“dik, bawa adekmu. Ambil adekmu, aku takut
kalau dia jadi bahan banting dua manusia ini.” Aku pun menuruti kemauan mas ku.
“kalian orang tua macam apa yang saling beradu di depan anak anak kalian?
Harusnya kalian malu pak, bu. Malu… apakah dengan seperti ini seorang istri
mengabdi kepada suaminya?? Apakah dengan seperti ini seorang suami melindungi
istrinya?? Aku capek pak, bu, mendengar kalian selalu seperti ini. Terserah mau
kalian jadi apa, terserah !!!” kakakku menyeretku keluar dan masuk kedalam
kamarnya.
Aku tak tahu apa yang terjadi di luar saat
itu, aku menangis sambil merangkul adikku yang tak berdaya. Hanya mata sayunya
yang bisa aku lihat sekarang. Hanya cairan yang entah apa rasanya yang bisa aku
keluarkan dari mataku, memerah, dan berair.
“silahkan mau pilih yang mana pak, bu. Mau
pilih pisau atau botol, silahkan!! Aku tidak perduli dengan apa yang kalian
lakukan, terserah, aku takkan melihatnya..” kata mas ku. Aku mendengar dari
dalam kamar. Terdengar jelas, karena rumah yang kini aku tempati hanya
berdinding bambu..
Tuhan,
mungkinkah ini yang namanya takdir? Mungkinkah iniyang sebut nasib? Mungkinkah
aku yang kau pilih? Benarkah aku manusia terpilih dari berjuta juta manusia
yang hidup di dunia ini? Bisakah kau jawab pertanyaanku ya Alloh? Tuhanku
semesta alam, limpahkanlah rizki untuk orang orang yang melindungi hamba, untuk
orang yang melahirkan hamba, untuk orang yang berdiri menopang hamba, untuk
orang yang pernah memberikan kesakitannya untuk hamba…. Ya Alloh, bisakah kau
turunkan sebatang emas berlian untuk ibu hamba? Bisakah kau ciptakan 3 ekor
sapi saja untuk bapak hamba, bisakah? Ya Alloh, segala rahmat dan karunia yang
Engkau berikan untuk hamba, benar benar hamba terima. Hamba dengan lapang dada,
menjalani cobaan yang Engkau turunkan, seperti yang pernah
pendahulu-pendahuluku rasakan. Tuhan, turunkan hujan sebagai penenang suasana
ini, agar orang orang tak mendengar celotehan orang tua kami.. agar orang
melihat harmonisnya keluarga kami.. rizki mu kami nanti ya Alloh.. amiin..
Aku tahu, semua ini memang bukan pilihan
dari kedua orang tuaku. Diantara mereka tidak ada yang benar. Tidak ada yang
memiliki rasa mengalah. Selalu mengedepankan emosi dan kata kata kotor.
Tiga tahun lalu itu bukanlah kenangan
terburuk yang pernah aku alami, masih ada cerita tentang hal yang sama yang
mungkin sakit sekali untuk aku rasakan sebagai seorang anak. Anak perempuan
yang ingin merasakan lembutnya sentuhan tangan bapak membelai rambut panjangku.
Ingin merasakan indahnya berlian yang bapak berikan untukku. Mungkin di leher,
di pergelangan tangan, atau di antara jari jemariku.
Aku pernah menelan pahitnya kata dari
seorang bapak kandung yang selama ini aku banggakan.
Saat itu, saat aku duduk di bangku kelas 2
SMP. Aku hanya ingin menegur bapakku yang berpolah seperti anak kecil. Yang
ingin di openi istrinya. Padahal istrinya saja masih repot
mengurusi aku dan kakakku yang akan berangkat sekolah. Menyiapkan sarapan.
Aku hanya menegur sekali, tapi bapakku tak
memperdulikan. Aku kesal dengan bapakku, aku bahkan ingin sekali membantah
segala perkataannya. Kebencianku dimulai saat itu. Kebencian penuh dendam.
Ketika pulang sekolah, aku masih memendam
rasa itu. Ingin sekali aku membantahnya. Saat itu aku baru saja mselesai
berganti pakaian, lalu bapakku memerintahkan aku suatu hal, aku lupa apa.
Maklum, kejadian itu sudah selama ini. Lalu aku bilang pada bapakku “tidak
mau”. Bapakku bilang, bahwa aku di perintahkan untuk tidak menjadi anak yang
susah diatur dan disuruh. Lalu dengan seenaknya aku menjawab “bapak punya hak
apa memerintah aku? Memangnya bapak yang melahirkan aku? Bapak yang membiayai
aku sekolah? Bapak yang membuatkan aku makanan? Bapak yang memakaikan baju
padaku??!” kataku dengan sedikit keras.
Lalu bapakku melempar pisau yang sedang ia
pegang dan kembali dengan tatapan yang tajam melihat kearahku “ya nak, semua
yang dikatakan kamu benar, tapi apakah bapak pernah mengajari kamu untuk bicara
seenak sendiri ke depan orang tuamu?? Pernah? Bapak masih ingat dengan jelas
nak, bapak balum pernah sekali pun mengajari kamu untuk melawan orang tua!”
lalu bapak menghisap kembali rokok yang dia pegang.
“kamu ingat baik-baik ya nak, cocot mu itu dijaga! Cocot kok kaya ibumu!!” lalu bapakku
mengambil pisau yang tadi dia lempar dan pergi entah kemana.
Aku terhanyut dalam lamunan,
Ya
Alloh, aku tahu aku berdosa. Berkata seperti itu pada bapakku sendiri. Aku tak
pernah berfikir sebelumnya ya Alloh..
Alloh,
apakah aku harus menerima kata kata seperti itu juga ya Alloh, sebagai imbalan
atas perkataanku pada bapak? Jika Engkau maha adil, berikanlah yang terbaik
untukku ya Alloh, untuk bapakku juga. Jika memang aku bersalah atas kelakuan
ku, aku terima dengan lapang dada cobaan darimu untuk aku pelajari. Jika Engkau
menyayangiku, kirimkan aku jawaban ya Alloh, jawaban terindah yang bisa membuat
aku tak berkutik dengan kuasaMu, yang bisa membuat aku tahu betapa salahnya
kata dan perbuatanku. Amiin.
Aku merindukan sosok pahlawan dalam
hidupku, cerita cerita tentang seorang bapak yang aku dapatkan dari teman
temanku, cukup membuat hatiku iri. Ada yang bapaknya setiap hari mengambil padi
disawah mereka untuk dimakan, ada juga bapaknya yang setiap hari pergi ke
sekolah untuk mengajarkan menulis dan membaca, ada juga yang setiap hari tak
dirumah karena bapaknya yang bekerja sebagai seorang TKI.
Aku? Aku bercerita di depan mereka, betapa
bapakku adalah seorang pahlawan dimataku. Yang selalu mengajariku bernyanyi,
membaca, mengajariku sopan santun, mengajariku bertutur kata baik, dan
mengajariku sebagainya. Dan kawanku tertegun.
Itu dulu, aku menceritakan kebohongan.
Kalau sekarang aku ceritakan kepada khalayak, dan itu, lebih bohong lagi.
Yang lebih menyakitkan lagi, melihat ibuku
di aniaya hatinya dari jauh oleh suaminya sendiri. Di fitnah, dan di maki.
Kejamnya dunia ini tak bisa mengalahkan kejamnya perlakuan seorang suami pada
istrinya sendiri, ibuku.
6 tahun, 6 bulan yang lalu. Ibuku bergabung
dengan sebuah lembaga investasi bernama K-LINK. Dimana perusahaan ini
menawarkan bisnis obat herbal, makanan herbal dan semua yang berbau dengan
herbal. Ibuku tertarik. Dan mengikutinya. Bapakku sangat bertentangan dengan
keinginan ibu. Bapak khawatir jika ikut lembaga ini semua kekayaan akan habis
untuk modal. Padahal, ibuku masuk ke lembaga ini bukan untuk ikut dalam
bisnisnya, tetapi hanya sebagai penyedia tempat rutin serta pengumpul
masyarakat saja.
Ibu berfikiran seperti ini, jika ibu
berhasil masuk, ibu sudah di janjikan nantinya akan mendapatkan pesanan baju
seragam dari perusahaan itu. Ibu percaya percaya saja karena yang menjajikan
itu adalah teman lama yang di pertemukan kembali, kurang lebih bigini
percakapan yang pernah ibu ceritakan padaku dulu,
Awalnya kawannya itu bertanya, “bagaimana
kamu sekarang? Usaha apa? Katanya buka jahitan ya??”
“iya, mi. (namanya Mia). Aku membuka
jahitan dirumah, ya luymaya udah bisa buat merombak rumah, kamu gimana?” kata
ibuku
“aku sekarang kerjanya di kantor,
perusahaan K-LINK. Obat herbal gitu. Begini Sri, aku punya ide, bagaimana kalau
kita bekerja sama saja?? Jadi, kamu masuk dulu jadi anggota, kamu tidak perlu
memberikan modal, nah kebetulan kita lagi butuh deragam untuk anggota anggota
kita yang ada di kota ini Sri. Bagaimana??” bujuk kawan lama ibuku.
“tapi, apa gak papa kalau aku tidak
memberikan modal?”
“gak papa Sri, sma teman iuni. Anggap saja
itu hadiah dari aku, kebetulan aku memegang jabatan yang lumayan disana.
Bagaimana? Kan lumaya, tuh, kamu Cuma menyediakan tempat aja kalau kita mau
promosi di daerah kamu, nanti kalau kamu udah punya anggota kamu juga bisa kok
dapet uang. Gimana??”
“bener kan aku ga perlu uang buat modal?”
“ga perlu Sri, aku nawarin ini ke kamu kan
biar kamunya untung. Coba bayangkan ada sekitar 300 anggota di kota ini.
Masing-masing seragamnya itu ada 4 seragam. Berarti total ada 1200 potong.
Lumayan kan Sri, dari pada aku tawarkan ke orang lain kan lebih baik ke teman
sendriri kan??”
“Kamu bener juga ya, ya sudah kamu tinggal
hubungin aku aja lagi yah. Nanti tinggal kita bicarakan baiknya saja” kata ibu
mengakgiri cerita pertemuannya dengan Mia.
Tapi impian ibu untuk bisa maju dalam
usahanya pupus sudah. Setelah pertemuan yang di adakan di rumah, bapakku
kembali bertingkah. Ia menemui mas Tegar, seorang yang cukup andil di bidang
itu seperti mba Mia.
“suami anda mengetuk mobil yang kami
kendarai dan dia berkata untuk tidak mengganggu Anda dalam keadaan apapun.
Tidak mengganggu Anda dalam kesempatan apapun. Suami Anda juga mengancam
apabila saya masih menghubungi Anda, suami Anda akan bertindak semau dia
sendiri. Saya sudah cukup malu mbak, di bentak dia di depan umum. Anda saja
yang tidak melihatnya. Sudah, cukup saya berurusan dengan orang macam Anda.
Saya tidak mau berurusan dengan orang yang susah seperti Anda dan suami Anda.
Mau di bantu kok ngelunjak. Saya prihatin dengan Anda mbak punya suami tapi
tidak mendukung Anda, malah menjelek jelekan Anda di depan kami dan di depan
umum.” Kata mas tegar dalam beberapa pesan untuk ibuku dulu,
Begitulah kirakira akhir dari ke pupusan
harapan ibu yang ibu ceritakan dulu. Aku masih ingat jelas, aku masih ingat
seberapa besar pengorbanan ibu dan segampang apa harapan ibu hilang dan pupus
takkan kembali lagi. Harapan yang di rajut kemudian di bongkar oleh orang yang
pernah menyayanginya dan orang yang pernah bercumbu dengannya. Sungguh naas.
Tak semudah itu ibu menyerah. Aku beranjak
SMA. Saat itu adalah saat saat dimana aku ingin menjadi seorang yang di
perhatikan. Namun hilang sudah, ibuku sibuk dengan keadaan yang menjepit.
Kakakku ikut membantu ibu mencari uang. Beruntung masalah tidak lagi datang
disaat saat seperti ini.
Kekososngan maslah kembali terisi. Saat
itu, ibu sering sekali pergi, belanja kain keperluan jahitan. Alhamdulillah
pekerjaan ibu bertambah, ada karyawan juga yang membantu, saat itu ibu sedang
menerima pesanan dari Jakarta, dalam satu kali kirim ibu mengirim 600 pasang
baju muslim anak-anak. Pesanannya kira kira 3 bulan sekali. Kalau kata ibu sih,
cukup untuk mempersiapkan biaya kuliahku. Ibu sangat menginginkan aku kuliah,
kuliah dan kuliah.
Bukan hanya pesanan dari Jakarta saja yang
sedng ibu garap pada saat itu. Pesanan dari batam juga ibu terima. Sekarang
sudah menyebar pelayanannya ke luar kota. Bahkan pesanan dari daerah bondowoso
serta Kalimantan juga pernah. Intinya ibu sekarang sudah cukup dan berani untuk
menyekolahkan aku di universitas.
Aku beranjak kelas 2 SMA. Aku melihat
keluargaku sekarang sudah berbeda. Kami saling memahamj, saling mengerti satu
sama lain, dan bapakku sudah bertobat rupanya. Setiap hari canda dan tawa
menghiasi keluarga kami. Indah sekali, ini yang aku impikan dari dulu.
Namun semua itu tak bertahan lama, saat itu
bapakku sangat sering keluar rumah. Entah apa kerjaannya. Tapi seorang tetangga
yang kebetulan masih saudara, dan kebetulan sangat dekat dengan ibu. Dia sering
bercerita dengan ibu, curhat satu sama lain. Ibuku curhat betapa pahitnya hidup
dengan seorang suami pengangguran, ia curhat betapa tersiksa batinnya yang
setiap hari harus bersama dengan keluarga yang selalu mencerca. Nasibnya hamper
sama, perbedaannya hanya suaminya yang bertanggungjawab.
Panggil saja dia mbak Ida. Sangat dekat
dengan ibu. Semua seluk beluk ibu ia tahu, ibu pun begitu, semua seluk beluk
tentang mba Ida, ibuku tahu. Aku bahkan sering mendengar mereka menangis
bersama, menceritakan keluh kesah satu sama lain.
Mbak ida pernah menceritakan kelakuan bapak
di belakang ibu. Ternyata bapak menjelek jelekkan ibu. Begini kurang lebih
ceritanya,
“saya saja heran bu lik, lik bambang berani
beraninya menceritakan hal yang sangat rahasia menurut saya ke depan orang
orang. Dia bilang kalau lik sri itu suka sekali main belakang, suka selingkuh
dan pulang malam. Pokoknya semuanya di jelekjelekkan. Dapet uang seberapa saja
engga, tapi gayanya seperti bekerja untuk uang milyaran. Kalau lik sri tidak
menikah dengan lik bambang, katanya pasti gak bisa kayak sekarang. Masih
miskin. Itu modal kan modalnya lik bambang, harusnya terimakasih sama lik
bambang. Katanya si gituuu” kata mba Ida.
Aku tahu rasanya seperti apa, seperti luka
yang sengaja disiram dengan air garam. Eh, bukan bukan, seperti luka yang
disiram dengan alcohol 70 persen. Periiiih sekali.
Dan itu bukan hanya sekali, berkali kali.
Dan banyak laporan tentang kelakuan bapakku. Ibuku sudah lama tidak tahan
dengan semua itu. Singkat cerita, ketika bapak pernah bercerita di depan orang
orang sana, bapak pernah berani bersumpah bahwa berita yang dia katakan itu
benar, dan dia berani bersumpah di sambar petir.
Ibuku sangat syok menerima berita seperti
itu, ia sangat heran mengapa suaminya sendiri melakukan hal yang sangat hina
kepada istrinya. Ibuku mencari berbagai sumber dan berita itu benar.
Saat itu, yang bisa ibu lakukan hanya
bicara pada orang yang ia anggap orang tua. Nini Gia, dia adalah adik dari
orang tua ibuku. Ibuku menceritakan semuanya. Tidak ada yang menangis mendengar
cerita ibuku.
“Bambang sudah berani seperti itu padaku
mbok, aku mencari uang untuk kebutuhannya juga mbok, tapi apakah ini
balasannya? Aku malu mbok maluuu. Aku di permainkan oleh bojo ku sendiri. Ini
kah balasan dari semua yang aku lakukan mbok?? Apakah selama ini aku tidak ada
benarnya dimata mereka? Dimata bojo ku, dimata keluarganya? Bambang mbok,
bambang yang selama ini menyakiti aku tapi aku tak pernah balas apapun.
Sekarang aku tak melakukan apapun tapi dibalas seperti ini mbok. Aku binguung
harus bagaimana mboook… sumpahnya itu bohong mbok bohong….” kata ibuku.
Nini Gia hanya menjawab,
“santai Sri, semua itu pasti ada
balasannya. Aku tahu kamu benar dan dia salah. Kita tunggu saja, kalau kamu
merasa benar sesuatu akan terjadi padanya. Tidak akan lama, tunggu saja ya Sri.
Sabar. Alloh itu adil, sekarang, usap air matamu nak, nini sangat sedih melihat
kamu menangis. Kamu sekarang pulang, mandi dan solatlah. Kamu bicara pada
Alloh, meminta penjelasan pada Nya. Berdoalah, baca surat Yassin selama 7 kali
dalam 7 malam. Alloh akan cepat mendengar doamu nak… ingat, jangan kamu berdoa
yang macam macam, jangan berdoa atas nama dendam, tapi berdoalah, meminta yang
terbaik untuk dirimu, yang terbaik untuk bambang, untuk anak anak mu dan untuk
orang orang mu. Alloh akan memberikan yang terbaik untuk bambang, Sri. Percaya
pada nini….” Kata nini untuk ibuku.
Ya
Alloh, aku hanya bisa memohon padamu ya Alloh. Aku hanya bisa meminta segala
hal padamu. Aku tak ingin apa apa terjadi pada orang tuaku. Baik bapak maupun
ibu. Aku tak ingi semua terjadi begitu saja. Aku ingin Kau memberikan apa yang
harusnya kau lakukan ya Alloh. Lakukanlah apa yang menjadi kehendakmu, yang
terbaik untuk bapak, untuk ibu, dan memberikan pelajaran yang berharga ya
Alloh. Aku tak ingin Engkau memberikan balasan kepada diantara mereka, tapi aku
ingin Engkau memberikan yang terbaik untuk keduanya ya Alloh. Bicarakan dan
suarakan KuasaMu yang begitu agung, yang begitu indah. Amin.
3 bulan setelah itu, aku sedang sekolah.
Aku pulang dengan suasana yang sepi. Hanya ada aku, adikku, dan masku. Aku
bingung, dan disaat itu masku sudah siap untuk pergi.
“bapak masuk rumah sakit, kamu dirumah sama
adekmu ya. Ini sangunya. Kalo berangkat sekolah kamu titipin adekmu ke mba
Yati. Dia kan biasa ngurusin. Kalo berangkat sekolah ati ati yah. Aku mau
nyusul ibu ke HI.” Kata mas ku
“loh, bapak masuk rumah sakit?? Kok bisa?”
kataku
“bisa lah, nanti aku ceritakan, aku udah
buru buru. Ini udah ga ada waktu lagi. Kamu baik baik dirumah ya. Kamu udah aku
titipin ke uwa. Kalo ada apa apa kamu bilang saja ke uwa ya.. Assalamualaikum”
kata mas ku sembari keluar rumah menuju salah satu rumah sakit di kota.
“iya ati ati mas, Wangalaikumsalam.”
Jawabku,
Entah apa ceritanya, aku menjadi gelisah
sekali tidurnya, biasanya bangun saja sampe di bangunkan oleh orang orang
rumah, sekarang bangun sendiri jam 3 pagi. Aku langsung memasak air untuk mandi
dan untuk minum. Menunggu air masak, aku menyetrika bajuku yang akan aku
gunakan pagi ini. Setelah selesai aku mulai merenung, sebenarnya apa yang
sedang terjadi. Tiba tiba hapeku bordering..
“hallo, assalamualaikum.”
“waalaikumsalam, hallo nak?”
“iya bu ada apa?”
“lagi ngapain kamu? Kok udah bangun?”
“iya bu, lagi belajar. Nanti ada ulangan.”
“oh, yaudah semoga nanti bisa ngerjain. Ini
bapak mau bicara, biar bapak jadi inget. Bapak tadi bangun bangun kayak orang
linglung. Ga inget siapa siapa gak inget kamu gak inget punya anak berapa ga
inget ibu ga inget siapa siapa…” kata ibu
“bapak, ini siapa? Ini siapa pak??”
terdengar suara ibu yang menuntun bapak untuk bilang namaku “bapak? Denger aku
gak? Ini siapa pak??”
Tidak ada suara, hanya bapakku yang
terdengar seperti orang yang tidak bisa bicara. Gagu.
“nak, bapak kena stroke. Ini lagi di
obtain. Sebelumnya biasa aja, tapi sekarang jadi gini nak. Kamu yang sabar yah.
Kirim doa untuk bapak. Biar cepat sembuh bisa pulang lagi.” Kata ibu sambil
menangis. Terdengar jelas ibu sedang menangis disana.
Ya
Alloh, apakah ini jawaban yang Kau berikan?? Apakan ini, jawaban yang selama
ini kami tunggu? Suatu keadilan atas rencanaMu? Suatu kebijaksanaan atas segala
yang Kau lakukan? Ya Alloh, ini sebuah pelajaran yang Kau berikan atau cobaan
yang Kau jajal kepadaku? Ataukan ini hukuman untuk bapakku? Segala pertanyaan
ini mohon Kau berikan aku jawaban ya Alloh, aku rindu jawaban indahMu. Apakah
Kau yakin aku bisa melakukan semua ini ya Alloh? Kau yakin aku bisa menjalankan
yang Kau berikan ini? Tak cukupkah adikku Kau titipkan pada kami ya Alloh? Kau
maha tahu. Tahu mana yang bisa aku lakukan dan bisa aku jalani.
Ya, dalam doaku, aku sebut sebut adikku.
Kurasa Tuhan telah memilih dan memilah mana orang orang yang memiliki hati
baja, memiliki sikap bijaksana yang sanggup menerima semua ini. Kurasa Alloh
telah memilihkan jalan ini untuk kami. Keluarga yang sangat kecil. Kurasa orang
orang seperti kami yang lolos seleksi untuk diberi cobaan. Alloh tahu siapa yang
pas untuk menerima cobaan ini, karena Alloh tahu jika orang lain yang
mendapatkannya mereka tidak cukup kuat. Ya, beginilah pikiranku selama ini.
Agar aku tetap bersyukur dan berterimakasih. Walau terkadang keluh kesah saling
aku lontarkan satu persatu.
12 tahun 8 bulan yang lalu,
Sebuah penantian panjang untuk waktu yang
cukup lama. Ibu hamil untuk anak yang ketiga. Ya, adikku sekarang. Tentunya
bapak masih sehat benar saat itu. Masih gagah masih gemuk. Kelahiran ketiga ini
cukup rutin bagi ibu untuk memeriksakan kandungannya kepada seorang bidan. Seorang
bidan yang sudah di percaya ibu untuk menangani kelahiran anak ketiganya. Bidan
itu yang dulu membantu ibu dalam proses kelahiranku juga.
Namun entah dimana titik kesalahannya, yang
jelas bidan itu memberikan injeksi oksitosin kepada ibuku sampai 2 kali waktu.
Injeksi oksitosin atau yang biasa orang awam sebut dengan suntik pacu. Aku tahu
seperti apa rasa sakitnya. Aku juga pernah mempelajarinya, karena sekarang aku
juga sekolah di kebidanan. Rasanya seperti di paksa untuk keluar. Sudah
disuntik 2 kali dan sudah merasakan sakit, tapi entah mengapa sudah 2 hari sejak
di suntik pacu, bayinya tidak mau keluar. Bayinya juga sudah tenang bahkan
tidak ada pergerakan sama sekali. Ibu pernah menceritakan kejadian itu dan
seperti ini percakapannya dengan bidan,
“bu Dwi, apakah kandungan saya tidak apa
apa? Sudah 2 hari saya merasakan sakit dan sekarang kandungan saya tidak ada
gerak sama sekali bu..” kata ibuku saat itu
“masa? Padahal sudah saya suntik 2 kali
loh. Mungkin belum waktunya, tunggu saja ya bu. Nanti pasti lahir” kata bu Dwi
meyakinkan ibuku
“apa tidak perlu dirujuk ke rumah sakit
saja bu??” ibuku meminta
“tenang saja bu, saya masih sanggup kok.
Ini karena belum waktunya saja. Sebentar lagi pasti ibu bisa merasakan kok”
kata bu Dwi lebih meyakinkan lagi.
Kata ibuku, ibu langsung saja percaya
dengan keadaan ini. Karena ibu fikir, yang namanya ibu dengan bu bidan lebih
tahu siapa si? Pasti kan lebih tahu bu Dwi. Bu Dwi lebih tahu mana yang benar
dan mana yang salah.
Sudah 1 minggu ibu tidak merasa apa apa di
dalam perutnya. Bahkan seperti tidak ada kehidupan disana. Namun sakit itu
muncul lagi, sakit terindah yang pernah ibu rasakan dulu seperti akan
melahirkanku atau mas ku. Akhirnya ibu dibawa kerumah sakit. Dengan keadaan KTD
atau ketuban pecah dini.
Aku tidak melihat langsung bagaimana
kejadiannya. Aku hanya diceritakan ibu seperti apa kondisinya. Saat adikku
lahir keadaannya sangat membuat ibu sakit hati, bayi normal harusnya lahir
dengan warna kemerahan. Tetapi adikku lahir dengan warna kebiruan. Kata dokter,
itu disebabkan karena air ketuban yang sudah keruh dan busuk di dalam kandungan
ibu. Kulit adikku pun berwarna biru busuk. Bau, dan mudah mengelupas. Dokter
saja sangat hati hati melakukannya. Selain itu, adikku tidak menangis. Bunyinya
seperti orang yang sedang cegukan. Matanya merah seperti ada darah di dalamnya.
Seluruh tubuhnya terbungkus oleh lendir.
Dokter saja sampai bilang seperti ini,
“bu, anak ibu bukan anak yang menjijikan
seperti keadaannya saat ini. Anak ibu adalah anak yang luar biasa. Dia sanggup
bertahan hidup di dalam perut ibu, tanpa nutrisi tanpa air tanpa makanan,
bahkan ia sanggup berenang dalam air yang baunya minta ampuun. Dia anak yang
luar biasa, dia anak yang kuat, dia sanggup melewati semua ini, di dalam sana,
di keadaan seperti itu, sendirian bu. Hanya sebatang kara di perut ibu. Saya
kagum dengan anak ibu, sebelumnya saya mengira anak ibu sudah meninggal disana,
tanda tanda kehidupan sudah tidak ada. Gerakan sudah tidak teraba, denyut
jantung janin ibu sangat lemah. Ibu, ini bukan akhir dari segalanya. Ibu hanya
orang yang Tuhan pilih untuk menjaga hamba Alloh yang begitu kuat, yaitu anak
ibu. Ibu adalah manusia terpilih bu.” Kata dokter menyemangati ibuku
“tapi tidak mungkin anak saya akan tumbuh
normal kan dok?” kata ibuku merasa tidak terima
“bu, ini adalah cobaan. Memang putri ibu
tidak bisa tumbuh normal, putri ibu sangat rentan terhadap sakit nantinya.
Pertumbuhan otaknya sangat lambat. Bukan hanya otaknya tetapi fisiknya juga.
Tapi semua ini bisa berubah sesuai kehendak Alloh bu, ibu rajin rajinlah
berdoa. Latih putri ibu nantinya. Harapan itu selalu ada bu. Selalu ada.” Kata
dokter menyemangati
Ibu hanya menceritakan sampai ini.
Selanjutnya adalah kehidupanku dirumah bersama adikku dengan pertumbuhan yang
sangat lambat. Sudah beribu ribu macam pengobatan ibu lakukan dan coba. Dari
medis sampai non medis. Dari yang ada di dalam kota sampai keluar kota. Dari
berobat ke kyai, sampai ke biksu dan ke pendeta. Mereka memiliki cara
pengobatan masing masing, dan semua pernah di coba.
Dari beratus ribu hingga berjuta juta.
Semua di keluarkan demi kesembuhan. Namun akhirnya, ibu pasrah, terserah apa
kehendak Tuhan untuk menangani kepasrahan ini. Semua pengobatan di hentikan.
Ibu mulai dengan cara yang baru, melatih adikku untuk bergerak. Melatih bicara,
bernyanyi, dan duduk. Sering juga dilatih untuk berjalan. Ibu melatih adikku
layaknya anak berumur 9 bulan. Tapi nyatanya, adikku berumur 3 tahun.
Hingga adikku berumur 5 tahun, ibuku masih
punya harapan, padahal adikku baru bisa duduk dan menyebut kata “mama”. Tapi
itu suatu pertumbuhan dan perkembangan yang cepat untuk anak anak seperti
adikku. Sangat bangga pada saat itu, adikku terus di latih dan di latih.
Aku bisa lihat di mata adikku. Di lubuk
hati yang paling dalam, dia adalah anak anak normal, yang ingin berlarian,
ingin mengejar, ingin bermain, tapi keterbatasan ini yang membuat keinginan
dalam hatinya terkunci rapat. Aku tahu, aku tahu benar, dalam hatinya yang
paling dalam dia ingin berteriak menyebut nama ibu, sembari menangis, sembari
memeluk dan bicara seperti ini,
“ibu, terimaksih telah menjagaku selama
ini. Selama aku di dalam kandungan, selama hidupku beberapa tahun ini. Ibu, aku
tak tahu kapan bisa membalas semua kebaikanmu, semua usahamu untuk
menyembuhkanku, aku juga tidak tahu apakah aku bisa sembuh atau tidak. Ibu, apakah
aku telah membuatmu susah seperti ini? Apakah aku telah membuatmu sengsara?
Apakah aku telah membebani hidupmu? Aku dirawat selama sembilan bulan di dalam
kandungan saja aku sudah sangat berterimakasih pada mu bu. Aku minta maaf bila
aku telah merepotkan ibu. Aku juga ingin seperti anak anak lain yang bisa
bersolek dengan gaun indah, yang bisa menguncir rambutnya, yang bisa bergaya di
depan kamera. Yang bisa mencoba lipstick yang biasa ibu pakai ketika pergi.
Tapi Alloh memilihku untuk seperti ini bu. Alloh
yang telah memasangkan jiwa dan ragaku. Aku tidak bisa mengikuti perintah ibu
untuk menjadi seperti yang ibu mau, karena Alloh mau aku seperti ini. Tenang
saja bu, nanti kita bertemu di surga, aku yakin kita bertemu di surga. Sekali
lagi maaf kan aku sudah merepotkan mu ya bu, aku minta maaf…” begitulah kira
kira isi hati adikku yang paling dalam.
Bahkan, kesakitan ini belum cukup untuk
adikku. Saat adikku berumur 6 tahun, ia diserang penyakit gatal yang entah apa
namanya. Seluruh tubuhnya di penuhi dengan bintik bintik seperti cacar, namun
bernanah. Amis sekali baunya. Ia menderita penyakit ini selama satu bulan
kurang. Setiap hari ia menangis, mungkin karena rasa gatalnya yang mengganggu.
Kepalanya terpaksa ibu gunduli, hanya memakai tutup kepala yang setiap harinya
ibu ganti. Bahkan terkadang tutup kepala ini menempel di kepala karena nanahnya
itu yang membuat merekat. Kasian sekali adikku. Orang orang sekitar rumah tidak
ada yang mau mendekati adikku, bahkan terkadang beberapa orang menunjukkan rasa
tidak sukanya terhadap bau adikku di depan mata. Mereka sangat tidak sopan.
Mungkin tidak pernah belajar arti nama menghargai atau menghormati.
Berbagai macam obat pun ibu coba. Dari
salep murahan cap 88 yang ada di warung warung, sampai obat apotik yang di buat
khusus oleh seorang ahli. Belum rejeki adikku, karena adikku tidak sembuh
sembuh.
Alloh memang adil, ini seperti kisah nabi
Ayub a.s. beliau di beri sakit gatal dengan tiba tiba yang berbau untuk
mengujinya namun Alloh juga dengan tiba tiba mengangkat penyakit itu seketika.
Begitu juga dengan adikku, gatal itu datang dengan tiba tiba, lalu di angkat
oleh Alloh dengan tiba tiba juga. Gatal dan nanah itu tiba tiba saja hilang
tanpa meninggalkan bekas. Tidak membekas sama sekali di kulitnya. Bahkan kulit
adikku menjadi lebih putih dan mulus.
Aku
tahu kemampuanmu tiada tara ya Alloh. Aku tahu aku tahu aku tahu,
Aku
tahu, setiap langkah yang kami lakukan selalu Engkau pantau dan Engkau jaga ya
Alloh, karena kami bersama malaikat kecilMu. Jaga dia ya Alloh, aku ingin
kebahagiaan untuk dirinya. Kebahagiaan untuk kami dan kesempurnaan untukMu.
Amiin.
Aku pun masih ingat, sewaktu kecil dulu.
Saat aku duduk di bangku kelas 2 SD, masku kelas 5 SD. Ya, karena selisih kami
hanya 3 tahun. Adik kecilku yang baru berumur kira kira 4-5 bulan, sepertinya.
Aku lupa saat itu. Seorang temanku, dia laki-laki bernama Andi, entah
kepolosannya, atau ketidaktahuannya tentang sopan santun, atau memang dia anak
yang nakal. Dengan gamblangnya dia bicara di depanku,
“heh kamu! Kamu sekarang punya adik ya?”
tanyanya dengan gaya seperti preman, karena dia memang anak yang nakal.
“iya An, perempuan. Kenapa?” aku jawab
dengan senang senang saja. Karena aku piker dia memang ingin tahu.
“haha, eh kata orang orang adikmu itu idiot
ya?” Tanya ia lagi seolah ingin tahu
“engga, kata siapa?” jawabku dengan raut
muka yang mulai kesal.
“ah, bohong. Kata orang-orang kok. Hahaha
adik mu idiot idiot idioot….” Jawab andi dengan nada mengejek dan mengulurkan
lidahnya.
Aku memang baru kelas 2 SD tapi hatiku
sudah dilatih menjadi orang yang kuat. Aku tahu rasanya seperti apa, aku bisa
merasakan ejekan itu. Sakit benar benar sakit. Adikku tidak idiot tidak idiot
tidak idiot……..
Ejekan itu hanya segelintir dari kepolosan
Andi. Aku tahu benar, namun dari pernyataan Andi yang dia katakana “aku kata
orang orang”, berarti diluar sana adikku dikatakan idiot oleh orang orang.
Sakit sekali mendengar pernyataan seperti itu.
Saar itu aku sedang berdiri memeluk pintu
kelas, aku melihat dari jauh sosok mas.ku di depan kelas juga. Aku panggil dia,
“mas!!” panggilku sembari melambaikan
tangan.
Masku datang, “kok nangis?”
“tadi mas, si Andi masa bilang kalau adik
kita idiot mas,” kataku, dan aku melanjutkan cerita percakapanku dengan Andi.
“ya sudah, Andi mana?”
“main di belakang sekolah mas sama teman
teman”
“yuk ikut,” masku menyeretku untuk ikut,
dan aku terima terima saja.
Dan ternyata, masku menghampiri Andi,
dengan bicara baik baik kalau berita yang dia bawa tidak benar. Dan sekali
masku mengancam,
“Andi, kalo kamu nakal lagi sama adikku,
kamu aku pukul lho ya, ngerti ga??” kata masku, dan Andi pergi lari ketakutan.
Aku melihat sosok yang bertanggungjawab
dari masku. Dia walaupun sangat nakal dan merepotkan, tapi sangat bertanggung
jawab. Dia sosok yang patut aku kagumi, yang berani demi adik perempuannya
karena dia mereasa bertanggungjawab atas diriku.
Kembali ke awal cerita, tentang bapakku
yang mendapat cobaan. Saat itu aku kerumah sakit dimana bapak dirawat, dan aku
melihat begitu sangat mengenaskan kondisi bapak. Bapak yang dulu gagah berani,
sekarang bapak menjadi orang yang penakut, dulu bapak yang tegap jalannya,
sekarang menjadi orang yang pincang. Dulu bapak yang selalu bicara lantang,
sekarang menjadi orang yang tidak bisa bicara. Bapak melihat kanan kiri depan
belakang seperti orang yang tidak tahu arah. Aku menangis dalam hatiku, mataku
mulai memerah, memancarkan rasa iba yang begitu besar.
Bapak, mengapa kau jadi seperti sekarang
pak? Apakah kau tidak bisa bertingkah layaknya dulu pak? Aku takut, aku takut.
Jujur, aku melihat bapakku sendiri layaknya bapak yang bukan aku kenal,
kelakuannya seperti orang stress. Aku bahkan takut mendekatinya. Apakah seperti
ini yang namanya stroke? Aku tidak mau dekat dekat dengan bapak, aku takut, aku
takut dengan bapak. Ketika bapak menyentuhku, aku mulai merasakan bahwa inilah
bapakku, tapi aku tetap saja masih takut.
Aku meninggalkan bapak, aku berpamitan pada
bapak. Aku takut bapak mengejarku. Satu langkah aku meninggalkan bapak, hati
ini begitu sakit, dua langkah meninggalkan bapak, hati ini remuk, tiga langkah
aku meninggalkan bapak, hatiku hancur tak bersyarat. Aku sangat berdosa. Aku
sangat durhaka ya Alloh, aku sangat durhaka, aku tidak pantas menjadi anak
perempuannya ya Alloh…..
Aku kembali menghadap bapakku, aku
beranikan. Aku berlari meninggalkan langkah langkah salah, meninggalkan calon
calon dosa terberat, meninggalkan sikap apatis. Ini bapakku, dia yang dulu
pernah merawatku juga, dia ikut andil dalam mendidik aku. Aku tuntun bapak
menuju kamar, aku usap kepalanya, aku ajak dia bicara, hati ini sangat dingin
rasanya. Hiasan tetesan tetesan air mata pun jatuh tak tertahankan. Aku kembali
untukmu pak, aku tahu aku durhaka, aku sadar aku salah pak.
Alloh,
terimakasih Kau telah menegurku. Kau telah mengetuk hatiku, Kau telah
memberikan cahaya dalam hatiku yang hamper kehilangan arah. Alloh, aku tahu aku
berdosa, bagaimanapun juga dia adalah bapakku, bapak kandungku. Aku
berterimakasih atas karunia yang kau berikan, kau telah memberikan tangan ini
untuk aku bisa membelainya, kau memberikan aku tangan ini untuk aku bisa
menyuapinya. Terimaksih ya Alloh…
Ibu tidak tahan kondisi ini. Semakin lama
dirawat dirumah sakit, kondisi bapak semakin buruk. Yang tadinya hanya satu
yang tidak bisa bergerak, sekarang semuanya tidak bisa bergerak. Ibu langsung
membuat keputusan untuk dibawa ke pengobatan alternative dengan metode pijat
refleksi. Tempatnya di daerah bukateja, purbalingga.
Tempatnya sangat sederhana, disana juga ada
pondok pesantren tradisional. Suasananya sangat sejuk. Bagus sekali. Benar
benar masih asri.
Singkat cerita, baru satu minggu bapak
dirawat disana, perkembangannya sudah baik sekali. Bapak sudah bisa berjalan.
Bisa bicara sedikit demi sedikit. Dan aku tidak memiliki rasa takut sama
sekali. Aku melihat ketulusan dari ibu. Aku melihat ketulusan yang benar benar
putih. Dia merawat dengan baik, menyuapinya makan, memandikannya, menyikat
giginya, membersihkan seluruh badannya. Semua itu tulus.
Aku juga melihat keletihan di mata ibu.
Sangat sangat letih, matanya sayu, kakinya bengkak, bibirnya pucat. Aku datang untuk menggantikan ibu disana, ibu
pulang untuk mengurusi adekku, dan aku disini untuk mengurusi bapak bersama
masku.
Suatu ketika, kakakku sedang keluar entah
kemana. Katanya mau mencari makan siang untukku dan untuk bapak. Aku ditinggal
sendiri dengan bapak. Aku bilang ke bapak, kalau ada apa apa kasih kode atau
panggil aku. Bapak juga mengangguk. Lalu beberapa saat kemudian bapak memanggil
aku dengan nada kode.
“iya pak? Ada apa? Mau kemana??” Tanya ku
“na… sh sh sh sh na…” jawab bapak
Aku sungguh tidak mengerti, lalu ku coba
Tanya lagi “kemana pak kemana? Mau pipis?”
“na… sh sh, nan a ..” kata bapak sambil
menunjuk kea rah alat kelaminnya.
“yuk tak anter yuk, biar ga jatuh” kataku
sembari meraih tangan bapak.
Bapak meraih tanganku, aku tuntun bapak
menuju pintu. Sesampainya di pintu bapak melepaskan tanganku,
“jangan di lepas pak” aku tetap memegangi
tangan bapak, “bapak pegangan aja, ini turunan nanti kalo jatuh sakit loh
pak..” kata ku.
“sh sh sh,, top top top… sahhhh… top” kata
bapakku. Mungkin maksudnya bapakku aku disuruh stop, aku pun berhenti.
Segala aku lakukan untuk bapak, aku turuti
kemauannya. Segalanya. Polahnya seperti anak kecil. Walaupun perkembangannya saat
ini sangat pesat, tapi aku tahu, semua ini sangat jauh dari batas awal sebelum
bapak sakit. Bapak juga sekarang kalau makan selalu memilih. Padahal dulu bapak
mau makan apapun yang ada.
Ketika aku minum minuman bersoda, dengan
gampangnya bapak minta minuman yang seperti aku minum. Itu terlalu kekanakan
menurutku. Seperti anak kecil sungguhan. Aku bingung dengan kelakuan bapak.
Apakah ini akibat dari stroke yang bapak derita??
Inikah
jawaban darimu Tuhan?
Ibuku tetap bertahan dalam segala cobaan
ini. Aku kira hatinya bukan hati biasa. Entah terbuat dari apa namanya.
Terkadang ibuku sengaja tertawa walau air mata mengalir. Terkadang ibuku masih
sempat tersenyum walau dia sedang kesusahan. Bahkan sering kali dia membelikan
apa yang aku mau walau kebutuhannya sangat mendesak. Mungkin Tuhan menciptakannya
dengan bahan khusus, yang lembut selembut sutra, tapi kuat lebih dari baja.
Terkadang, aku merasa bahwa cerita hidupku
adalah cerita yang paling menyedihkan yang pernah ada. Tapi ketika kita melihat
di luar sana, kita akan merasa lebih sangat beruntung karena Alloh cinta kepada
kita.
Ketika aku mengeluh kepada salah satu
sahabatku, dia seorang wanita, yang selalu mendengarkan ceritaku. Selalu
mendengarkan keluh kesahku tentang seorang bapak. Dia menasihatiku seperti ini,
“kamu malu punya bapak yang menderita
stroke?” katanya
“aku tidak malu, karena itu bukan
kemauanku. Itu adalah penyakit yang Alloh titipkan untuk bapakku. Bapakku tak
pernah meminta.” Kataku juga
“syukurlah jika begitu, aku akan marah jika
kau malu dengan kondisi bapakmu”
“mengapa?” tanyaku
“karena keberadaan seorang bapak untukku
adalah segalanya. Aku merasakannya ketika bapakku telah tiada. Walaupun dulu
mungkin kamu membencinya, sekarang saatnya kamu menyayanginya. Sebelum Alloh
mengunci kesempatan itu. Aku rindu pandangan seorang bapak walau dia tak
memiliki mata sekalipun, aku rindu sapaannya walau dia tak memiliki mulut pun,
aku rindu belaiannya walau dia tak memiliki tangan sekalipun. Aku harap kamu
mengerti dengan apa yang aku rasakan.” Katanya
Terimakasih sahabat, kau telah memberikan
petuah yang begitu berharga untukku. Kau amat sangat rindu kepada bapkmu yang
sudah tiada sementara aku hamper menyianyiakan kesempatan berharga yang mungkin
takkan pernah terulang lagi. Kini aku berubah.
Terkadang, aku menangis melihat ibuku
tersenyum. Ibu, aku saja tidak kuat jika aku jadi kau bu. Kau benar benar
cerdas, bermuka topeng. Kau mau merawat bapak yang jelas jelas dulu pernah
menyakitimu. Kau benar benar wanita kuat. Segalanya ada di bahumu. Beban dan
cobaan. Kenapa kau tidak menyerah bu? Kenapa kau pura pura kuat? Kenapa kau
pura pura seperti ini? Keluarkan saja air matamu bu, keluarkan saja jika kau
benar benar tidak kuat. Aku siap menerima amarahmu jika kau butuh objek untuk
melampiaskan amarahmu. Aku siap. Daripada aku harus melihatmu seperti ini.
Menahan dan terus berpura pura.
Sebenarnya, bukan ini saja rasa sakit yang
ibu terima. Bukan hanya dari kelakuan bapak dulu sebelum sakit. Tetapi juga
dari keluarga bapakku. Tetangga tetanggaku yang masih terikat tali
persaudaraan.
Sejak dulu sebelum bapakku sakit, mereka
saling bersekutu. Mungkin membuat ibuku menderita. Entah aku asal menebak atau
apalah aku tak tahu. Terserah apa namanya, yang penting keadaannya memang
begitu.
Ibu terkadang pergi entah kemana, pulang
pulang membawa tangisan. Aku bertanya kenapa? Ibu tak mau menjawab,
Saat itu, ibu memetik daun katuk di kebun.
Ia masuk keruma setelah selesai, lalu ibu mendengar cerita orang yang sangat
ramai di sebelah rumah. Maklum, orang sekitar rumah sangat senang sekali kalau
di suruh menggunjing. Kata ibu, suasana saat itu sangat ramai. Mereka semua
tertawa terbahak bahak. Disana keadaannya kira kira sebanyak 5 orang. Mereka
saling melempar canda dan tawa. Namun di sela sela tertawa mereka, seseorang
salah satu yang ada disana menyebut nama “Sri”. Nama ibuku.
Kurang lebih seperti ini,
“hahaha, saya bingung dengan Bambang. Kok mau
ya menikah dengan Sri dulu. Orangnya keturunannya pendek lagi. Keturunan
keluarga kita kan tinggi tinggi ya? Haha. Sudah gitu, sukanya menghabiskan uang
Bambang saja. Jadinya kan Bambang harus jual kayu simpanannya buat modal hidup.
Keterlaluan ya?” kata seseorang disana terdengar jelas.
Bagaimana ibuku tidak sedih bila dikatakan
seperti itu? Kejam sungguh. Harusnya mereka sadar. Siapa yang mencari uang
selama ini? Siapa yang memberi orang yang bernama Bambang itu uang? Siapa yang
mereka bicarakan? Yang mereka bicarakan adalah kepala keluarga satu satunya
yang telah di telantarkan oleh saudara mereka yang bernama Bambang. Tak
cukupkah bukti itu? Mungkin tingkat kesadaran mereka di bawah normal.
Bukan hanya itu, ketika Bapakku sudah
sakitpun, keluarga bapakku tidak terima. Bahkan mereka menuntut kepada ibuku
agar ibuku mengembalikan keadaan bapakku seperti dulu lagi sebelum dia sakit. dan
aku ingin bertanya sekeras kerasnya di depan mereka. Hallo? Adakah otak di
kepala kalian? Halo? Adakah hati dalam diri kalian? Bukan wanita bernama Sri
yang membuat adik atau kakak kalian menjadi sekarang ini. Ibuku bukan penyihir
atau dukun santet. Ibuku bukan manusia durjana yang sebida membalikkan telapak
tangan membuat bapak menjadi seperti itu. Tidakkah kalian berpikir??
Mereka menuntun ibuku untuk mengobatkan
bapakku kemanapun mereka mau. Jelas ibu akan memperjuangkannya. Ibu akan
membuat bapak semakin sembuh dengan cara apapun. Ini atas dasar ibu
bertanggungjawab sebagai seorang istri bagaimana pun keadaannya. Bukan bertanggung
jawab atas dasar kesalahan ibu membuat bapak menjadi seperti ini.
Banyak diluar sana seorang suami yang
meninggalkan istrinya karena istrinya tak mampu lagi melayani salah satu
kewajibannya sebagai seorang lelaki. Tapi ibu? Seorang perempuan yang tidak di
nafkahi sejak lama nian tetapi masih mau merawat dan bertanggung jawab.
Harusnya mereka, orng orang yang menuntut berfikir, apakah istriku seperti dia?
Apakah suamiku bertanggung jawab seperti dia, dia yang seorang weanita?
Bukankah itu hebat? Harusnya mereka bertepuk tangan menyambut wanita ini yang
dengan gagah nya berani dan mampu menghadapi cercaan yang mereka lontarkan.
Bahkan, setelah bapakku pulang dari tempat
pengobatan alternative. Berbondong bonding orang datang menjenguk bapakku.
Bukan bapakku yang mereka tangisi. Tetapi ibuku yang mereka beri iba. Sanggup
menghadapi semua ini. Mereka memberikan ibu semangat, nasihat dan semuanya.
Mereka yang ibu berikan dukungan.
Namun suatu saat. Salah satu dari kakak
bapakku datang ketrumah. Dia awalnya hanya menjenguk bapak dan memberikan bapak
candaan. Namun lama kelamaan, dia membuka sebuah pembicaraan.
Namanya Wa Abu. Dia berkata,
“Sri, aku tahu ini berat untuk kamu. Tapi
aku mohon dengan sangat, kamu bertanggung jawab atas apa yang kamu perbuat. Kami
sudah tau semuanya dari Bambang. Kami tidak akan menuntut apa apa yang penting
kamu bertanggung jawab dan rawatlah dia. Buat dia seperti dulu lagi.” Kata Wa
Abu.
“mau bagaimana lagi wa, aku tidak melakukan
apapun. Memangnya wa tau dari Bambang itu tau apa? Apakah aku menyakiti bambang?”
Tanya ibuku, dia berhenti sejenak dan kembali mengatakan “bambang cerita apa
saja memangnya?”
“banyak yang Bambang ceritakan Sri
tentangmu. Kamu itu terlalu sering keluar malam. Kamu tidak bisa begitu Sri.
Apakah kamu mau menjadi orang yang durhaka pada suami?” katanya
“wa, kalau memang wa peduli dengan Bambang,
harusnya wa bicara pada bambang. Dia tidak bisa mencari uang makanya aku yang
mencari uang. Lagian wa juga sering lihat kalau aku pulang malam bukan membawa
laki laki lain, aku pulang dengan karung berisi kain sebanyak itu. Aku lakukan
itu karena Bambang tidak bisa melakukannya.” Kata ibuku
“terserah kau sajalah Sri, aku akan
bicarakan ini dengan anggota keluarga yang lain. Apapun keputusannya. Aku harap
kamu bisa mengerti” kata wa Abu yang kemudian pergi.
Lalu, ketika mas ku sedang sibuk dengan
pekerjaanya. Salah seorang anggota keluarga yang masih berhubungan darah, yang sepertinya
dia tidak memiliki otak babar blas. Dia datang dengan tangannya di pangku di
belakang. Lalu dia bicara,
“heh, itu bapakmu di obtain si kenapa?
Jangan di biarin terus doong!” katanya agak sedikit nyolot
“lagi aku obtain, setiap minggu tiga kali
periksa. Aku pijitin ke alternative kok” jawab mas ku
“di operasi aja si kenapa? biar cepat sembuh
kan maksudnya, kamu kan anaknya. Harusnya jangan eman eman kalo uang buat berobat.
Kasian tuh bapak kamu”
“kasian? Kalo kasian sana aja kamu yang
obatin. Kamu pikir, saya tidak butuh uang untuk mengobati bapak. Kamu pikir ke
tukang pijit seperti itu tidak butuh uang?? Aku harus mengeluarkan uang
setidaknya 600 ribu dalam seminggu. Itu bukan uang yang sedikit. Harusnya
kalian tidak hanya asal bicara dan menyalahkan orang. Apakan kalian pikir kata
kata kalian juga tidak semakin membuat saya kerepotan?” jawab kakakku
“tapi yakan tenaga medis lebih bagus,
mereka yang lebih tahu seluk beluknya. Kalau di pijit itu kan mana tau tukang pijitnya
tentang hal medis??” katanya lebih nyolot lagi
“mba, asal kamu tahu yah. Kita itu juga
sudah control ke rumah sakit.nih buktinya,” mas ku menyodorkan kartu anggota
control di salah satu rumah sakit “ini bukti kalau bapak sudah jadi anggota
control disini, kita setiap control itu menghabiskan biaya 600 ribu mba. Apa
mba pernah berfikir gimana saya cari uang? Engga kan?? Makanya jangan sok lah
mba. Mending mba urusin dulu mba nya deh, udah bener belum? kalau mba nya udah
ngerasa bener, ambil kaca, pastiin lagi, barang kali salah yakan??” Kata mas ku
seenaknya sendiri
“kamu tuh anak kecil, lebih tua aku. Di
bilangin suruh operasi aja malah nyolot gini.. emang buah itu ga jatuh jauh
dari pohonnya.” Katanya
“mba, aku itu udah konsultasi sama dokter
syarafnya mba. Kalo bapak di operasi. Akan ada gangguan di kepalanya. Ini udah
parah, resiko terbesar bapak bisa bisa otaknya ga bisa berfungsi lagi kayak
sekarang. Ini bukan masalah uang mba, tapi masalah resiko. Keadaan bapak yang
sekarang aja kalian gamau ngerawat kan? Gimana nanti kalo bapak tambah parah?
Bisa bisa sama kalian di masukkin ke panti jompo. Aku mau mba ngebiayain sekarang
cash mba. Mau banget berangkat sekarang, tapi harus ada syaratnya. Mba sama
keluarga harus tanda tangan di surat pernyataan yang isinya siap menanggung
resiko yang mungkin akan terjadi nantinya. Semua resiko, baik perawatan atau
pun tidak menyalahkan kami lagi.” Kata mas ku dengan tegas
“ah, susah memang ngomong sama kamu. Ibu
anak ga ada bedanya!” katanya sambil menekuk muka dan pergi tanpa pamit
Begitulah kira-kira pandangan setiap orang
terhadap keluargaku. Mereka benar benar keras, prinsip mereka tidak bisa di
rubah sama sekali. Mereka memandang dari sudut ketidakpedulian. Kejam bisa di
bilang.
Berbulan bulan ibu tidak tahan dengan sikap
orang orang itu. Mereka terlalu memaksakan kehendak mereka. Ibu sudah
memikirkan ini sejak lama. Ibu juga sudah berkonsultasi dengan beberapa pihak.
Dari keluarganya, dari salah satu keluarga bapakku juga, dari tetua tetua yang
dia anggap bijaksana. Ibu juga sudah bicara dengan pihak KUA. Bagaimana yang
harus dia lakukan. Ibu menawarkan bagaimana kalau cerai, apakah itu jalan
terbaik. Dan dia menjawab ya. Semua itu buka karena dia yang tidak bertanggung
jawab. Tetapi karena ketidak kuatan ibuku menahan cercaan yang selama 22 tahun
ini dia rasakan.
Akhirnya, perceraian dalam proses. Mungkin
ibu tidak pernah berfikir dampak psikis untuk aku maupun masku. Karena ibu
berfikir kami sudah besar. Tapi bagaimanapun juga, kami adalah anak. Kami butuh
kasih sayang, ketenangan, dan ketentraman. Kami butuh rumah yang damai, tidak
peduli apakah itu besar, kecil, bagus ataupun tak beratap.
Menunggu proses ini pun, proses kepindahan
berjalan. Sebenarnya aku syok mendengar semua ini. Aku harus pindah? Kemana?
Apakah ada rumah selain ini?? Dan semua itu tertunda jawabannya.
Aku masih sekolah saat itu, duduk di bangku
kelas 3 SMA. Aku dalam keadaan sibuk. Ya persiapan ujian nasional dan masuk ke
perguruan tinggi. Mungkin aku memang tidak pernah cerita tentang banyaknya
pikiranku kepada ibu. karena aku tahu, pikiran ibu lebih banyak dari yang aku
bayangkan. aku tahu kemampuanku selama SMA ini tidak terlalu baik. Aku termasuk
anak yang pas pasan di banding kawan kawanku yang lain. Ini menjadi salah satu
masalah untuk diriku. Aku terus belajar belajar dan belajar. Tapi lama kelamaan
aku lebih sering mendengar cerita ibu di banding membaca buku. Aku juga lebih
sering membayangkan apa yang akan terjadi di banding harus memperhatikan guruku
menjelaskan segala macam ilmu pengetahuan.
Aku juga tidak pernah memperdulikan apa
yang terjadi di kelas, apa yang terjadi dengan nilaiku. Aku lebih suka
merencanakan sesuatu yang akan terjadi jika ibuku mendapat semua cobaan ini.
Apakah aku akan diam, apakah aku akan membungkam mulut mereka satu persatu,
ataukah aku akan merobek sedikit demi sedikit alat bicara mereka yang menyakiti
ibuku? Perasaan dendam mulai muncul sekarang.
Sekarang, setiap aku melihat orang orang
itu, terasa tangan ini ingin meremuk wajahnya yang bisa bermuka lain setiap
waktunya. Ketika di depanku, mereka mengeluarkan wajah yang begitu manis, tanya
kabar, tanya keadaan ibuku, adikku seakan akan mereka sangat perduli dengan
keadaan ibuku. Seakan akan mereka sudah bertaubat dengan semua ini. Padahal,
aku melihat diantara dua bola matanya.
Ada kebencian pada diri mereka, entah apa namanya. Aku melihat amarah
dari mereka, aku melihat dendam dari mereka.
Kalau begitu, akupun bisa melakukan dendam
sodara sodara. Aku pun bisa membuktikan pada kalian nanti, aku pun bisa menjadi
yang kalian inginkan. Kalian yang ajarkan aku untuk melakukan semua ini, kalian
yang ajarkan aku untuk saling menyakiti. Terimakasih atas bantuan kalian selama
ini. Aku bukan anak kecil yang bisa kalian permainkan begitu saja, aku sudah
dewasa, usiaku 19 tahun.
Ya
Alloh, apakah ini jalan yang Kau pilihkan untuk ku? Atau aku yang sudah salah
memilih jalan? Aku rindu pelukanMu ya Alloh. Apakah ini sudah menjadi suratan
takdirku? Apakah ini yang Kau sebut keadilan??
Aku seorang manusia biasa yang tak luput
dari dosa. Aku manusia biasa yang hanya bisa memohon kepada Alloh. Aku hanya
bisa bicara dengan seperti keadaannya. Lama-lama aku juga berfikir, inilah yang
telah menjadi keputusan Tuhan. Yang telah Tuhan gariskan diantara kedua telapak
tanganku. Yang Tuhan pilihkan jalan yang pas untukku.
Lama kelamaan, aku pasrah dengan semua yang
terjadi. Aku mulai tak perduli dengan apapun yang terjadi. Aku mulai berhenti
memikirkan sesuatu yang tidak penting untuk diriku. Aku mulai memikirkan apa
yang sewajarnya aku pikirkan seperti yang pernah ibu sampaikan kepadaku,
“nak, kamu tidak usah memikirkan apa yang
seharusnya kamu pikirkan. Kamu tidak usah memikirkan apa yang bukan kewajiban
kamu. Kewajiban kamu adalah membahagiakan ibu nak. Dengan apa? Dengan belajar,
kejar cita cita kamu, kejar impian kamu, kejar semua yang kamu inginkan. Kejar
semuanya. Kejar cita cita yang pernah kamu katakana pada ibu. buktikan pada
mereka bahwa kamu bisa menjadi harapan keluarga. Buktikan pada mereka bahwa
kamu adalah yang terbaik dalam keluarga. Ibu tahu, ini sulit bagi mu nak, ibu
tahu ini sangat sulit. Ibu tak mau memaksakan kamu untuk memikirkan beban ini.”
Tak kuasa melihat ibu menahan semua ini,
aku bicara.
“ibu, percaya padaku kita bisa melewati semua
ini bu. Percaya padaku kita bisa membuktikan pada mereka. Ibu tidak perlu
menangisi semua ini. Ibu tidak perlu lagi memikirkan mereka, kata kata mereka.
Itu hanya akan membuat ibu menjadi lebih terpuruk. Ibu, kita buka lembaran baru
bu. Kita awali semua disini dengan ketulusan dan keikhlasan. Ibu adalah
wanitaterkuat yang selama ini aku kenal, ibu itu superhero bu. Ibu bukan wanita
biasa yang bisa mereka injak injak. Ibu adalah wanita kuat. Ibu tidak perlu
menyesali semua ini. Ibu bisa memulai lagi dari awal bu..”
Ibu mulai meneteskan air mata, dan ibu
bicara lagi.
“nak, ibu ingin bicara padamu nak. Ibu
ingin kamu tahu dan kamu mengerti. Ibu sungguh ingin lepas dari ikatan keluarga
dari mereka nak. Ibu ingin kamu mengerti kalau ibu sekarang sudh dianggap bukan
siapa siapa lagi oleh mereka. Ibu ingin meminta ijin kepadamu nak. Ibu minta
ijin untuk bercerai dari bapakmu. Ibu benar benar ingin lepas dari ikatan
keluarga dengan mereka.”
Hatiku benar benar hancur. Aku sangat
hancur. Remuk berkeping-keping. Aku tidak bisa merasakan getaran tanah ini ya
Alloh. Aku tidak bisa merasakan hembusan angin. Aku tidak bisa merasakan aliran
darah ini ya Alloh. Alloh, bisakah Engkau kembalikan rasa itu? Rasa rasa yang
telah hilang itu?
Aku
tidak ingin semua ini terjadi. Ya Alloh, apakah aku akan mencintai keadaan ini
selanjutnya ya Alloh? Apakah rasa itu tidak akan pernah kembali? Aku bertanya
padamu ya Alloh. Aku ingin engkau menjawab semua ini. Apakah aku akan iklas
menerima ini ya Alloh? Apakah aku bisa menerima semua ini? Apakah jalan ini
yang terbaik? Jawaban apa yang harus aku katakan ya Alloh. Apakah aku harus
jawab “iya”? padahal aku tak menginginkannya ya Alloh. Aku tak ingin
menginginkan semua itu terjadi. Aku ingin dalam rumah ini ada ibu, bapakku
walau sudah stroke, da nada ketiga putra putri mereka.
Lalu,
apakah aku harus menjawab “tidak”? padahal aku tahu, setiap malam aku
menyaksikan tetesan tetesan air jatuh dari pelupuk mata. Aku menyaksikan suara
rintihan hati yang terdengar jelas dari dalam tubuhnya walau ia selalu tutup
tutupi dengan suara tawa. Aku tidak tega melihat ibu selalu berpura pura di
depanku ya Alloh. Aku tidak tega melihat ibu tersayat oleh kata kata. Melihat
ibu terseok seok walau dia ingin sekali bangkit.
Ya
Alloh, aku tidak tahu harus mengadu pada siapa lagi. Aku takut tetesan air mata
kembali bertambah ketika mereka mendengar curahan hatiku. Aku tak tahu lagi apa
yang harus aku lakukan ya Alloh. Aku hanya bisa bicara padaMu, Engkau yang maha
Mengerti dan Engkau yang Maha Bijaksana.
Aku putuskan untuk diam sejenak. Aku mulai
lagi berkonsentrasi dengan semua ini. Aku mulai lagi bertahan. Aku mulai lagi
merasakan getaran tanah ini. Dan aku menjawab,
“apakah tidak ada jalan lain bu? Haruskah
perpisahan ini??”
“ibu juga tidak ingin ini terjadi nak. Tapi
ibu ingin hubungan antara aku dan mereka itu berakhir sampai disini. ibu ingin
memulai hidup baru tanpa celotehan mereka.”
“iya bu, aku tahu. Maaf kalau pertanyaanku
membuat ibu menjadi seperti ini. Kalau aku ya terserah ibu saja. Mana yang sekiranya
baik dan mana yang sekiranya tidak baik. Aku tahu, ibu pasti lebih mengetahui
mana yang menjadi jalan keluar yang bisa membuat ibu lebih nyaman. Aku pasti
akan mendukung bu. Tapi alangkah baiknya kalau ibu pikirkan lagi baik baik ya
bu.” Kataku mencoba bijaksana. “aku mau tidur dulu ya bu, ngantuk….”
Aku meninggalkan ibu tanpa aku mendengarkan
lagi apa kata katanya. Aku masuk kedalam kamar dan menutupnya rapat rapat.
Tetesan air mata mulai turun lagi.
Aku
tidak tahu apakah apa yang aku katakan benar atau tidak. Yang aku katakana
tidak aku pikir pikir dahulu. Aku ungkapkan semua itu dari hati. Aku berharap
ibu berfikir lebih matang lagi. Aku sedih melihat teman temanku yang broken
home. Lalu sekarang ini terjadi padaku sendiri? Ya Alloh, aku mohon kepadamu.
Aku mohon, aku ingin membangun kembali keluarga ini menjadi keluarga yang
harmonis. Ya Alloh. Bisakah kau dengar lagi aku? Lalu jika ibu berfikir lagi
dengan matang dan yang ia ambil keputusan ini adalah perpisahan? Aku merasa
berdosa, aku pasti slah telah memberikan ibuku kesempatan untuk mematangkan
lagi keputusannya. Aku takut jika ini benar benar terjadi ya Alloh. Aku takut
sekali dengan keputusan itu. Aku sangat takut.
Ya
Alloh, apakah ini yang dinamakan ketakutan berlebih? Aku merasa dingin seluruh
tubuhku. Aku merasa dingin. Aku menggigil ya Alloh. Pandanganku gelap,
pandanganku tidak jelas, pandanganku kabur ya Alloh.Aku ingin memeluk ibu ya
Alloh. Aku ingin memeluknya, meminta padanya untuk merubah keputusannya.
Sebenarnya proses perceraian itu sangatlah
lama. Bahkan sangat rumit bisa di bilang. Membutuhkan beberapa berkas yang
membutuhkan perjuangan untuk mendapatkannya. Salah satunya adalah buku nikah
kedua orang tuaku. Mungkin bapakku sudah mengetahui semuanya sehingga dia
menyembunyikan buku nikah itu. Setiap kali aku berkunjung menjenguk bapak,
pasti aku di perintahkan untuk mengambil buku nikah, bahkan sampai sampai aku
berseteru dengan ibu. waktu itu aku mengantar ibu dulu ke rumah adiknya yang
tak jauh dari rumah bapak, mungkin kira kira 5 menit menggunakan kendaraan.
Tentu saja ibuku tiak ikut kerumah bapak. Karena nanti ibu pasti takut melihat
orang orang itu, malah bisa jadi timbul masalah,
“sana kamu kerumah bapak. Ibu disini saja.
Kamu tolong carikan buku nikah ya di lemari biasanya,”
“iya bu, aku pergi duluu. Kalo ada apa apa
nanti sms aja..”
Aku pergi menuju rumah bapak. Sebenarnya
aku juga tidak enak dengan bapak. Ibaratnya aku mendukung bapak dan ibu untuk
berpisah, padahal aku tahu sendiri kalau bapak butuh bantuan untuk hidup. Tidak
cukup hidup bersama dengan mas ku saja.
Aku mencari kemana-mana benar benar tidak
ketemu. Di semua penjuru almari, di laci, di bawah tempat tidur. Semuanya tidak
aku temukan. Aku hampir frustasi sebenarnya. Aku putuskan untuk bilang kepada
ibu bahwa aku tidak menemukannya.
“ibu, aku tidak menemukannya. Aku pulang
ya, bapak sudah tau sepertinya” pesan yang aku kirimkan kepada ibu.
Telepon genggamku berbunyi, ada panggilan
masuk rupanya. Ternyata dari ibu.
“ketemu gak?” tanyanya
“enggak bu, udah di umpetin sama bapak”
jawabku
“masa ga ketemu?? Kamu tuh ga bisa banget
si? Cari sampe ketemu! Jangan balik sebelum ketemu!!” kata ibu dengan nada
amarah.
Kenapa ibu jadi seperti ini? Jadi lebih
ambisius untuk berpisah. Kenapa ibu sangat menginginkannya? Apa yang menjadi
alasannya? Apakah harus?Aku takut. Bagaimana jika aku tidak menemukannya?
Apakah aku benar benar tidak di ijinkan untuk pulang? Maunya apa si ya Alloh?
Apa aku harus melakukan semua yang ibu mau?
Aku terdiam, aku tak bicara satu patah
katapun. Karena memang tak ada yang bisa aku ajak bicara lagi. Aku termenung
dan mulai meneteskan airmata.
Ya
Alloh, mengapa aku sekarang menjadi anak yang cengeng. Yang selalu menangis
yang selalu merasa bersedih? Mengapa air mata selalu membasuh wajahku?
Kesedihan selalu menyapa ku dan amarah selalu menyapu bersih kegembiraan ku?
Mengapa aku yang mengalami ini ya Rabb? Apa aku orang yang pantas? Yang begitu
nista? Aku merasa akhir akhir ini aku selalu dalam lingkarang airmata. Selalu
selalu selalu dan selalu menangis. Hapus air mataku ya Alloh, hapus walau itu
perlahan dan butuh waktu.
Singkat cerita, akhirnya ibu dan bapakku
bisa dan resmi bercerai. Dan aku menyaksikan surat keputusan dari pengadilan.
Aku bisa melihat kegembiraan dari ibu atas terputusnya tali keluarga antaranya
dan keluarga bapakku. Tapi aku melihat masih ada ketulusan dari ibu untuk bapak
kandungku. Aku juga melihat secerca harapan yang sirna dari kelopak mata bapak.
Dia yang saat ini butuh bimbingan malah harus di tinggal sang istri yang
mungkin dulu sempat ia sakiti.
Mungkin sekarang dia juga sadar, betapa
bodohnya dirinya. Semua yang ia lakukan dulu berimbas pada dirinya. Sekarang
dia juga pasti memahami betapa pentingnya arti mempercayai dan menghargai.
Dirinya pun pasti tahu, dulu yang sempat dia lakukan adalah hal bodoh yang
mungkin takkan pernah ia ulangi. Ya, takkan mungkin, karena dia pun takkan
mampu.
Kehidupan berjalan dengan lancar. Aku
kembali dengan aktifitasku menghadapi ujian nasional dan perguruan tinggi.
Ibuku dengan mencari orderan seragam dari beberapa sekolah sekolah. Benar benar
dari nol.
Langganan yang baru, orang orang baru,
karyawan baru, pekerjaan baru, dan semuanya baru. Baru di kehidupan yang lebih
damai kata ibuku. Baru dalam ketenangan, baru dalam kedamaian serta kesejahteraan.
Aku pun melihat ada yang baru dalam hidup
ibuku. Ada yang baru di hari-harinya. Ada yang menghiasi di setiap senyumnya.
Mungkin ibuku sudah mengikhlaskan semua yang terjadi mungkin. Aku senang
melihatnya bisa tertawa lagi setelah semua yang terjadi. Aku senang ibuku bisa
menjadi yang dia mau setelah semua yang menimpanya. Dalam waktu kurang lebih 2
bulan dia merenung tak berdaya. Dua
bulan bukan waktu yang singkat untuk sebuah pemulihan jiwa. 2 bulan berdiam
diri adalah waktu yang cukup lama.
Pernah disuatu malam. Ketika aku baru saja merasakan jadi
orang baru disekitar lingkunganku. Banyak yang berkunjung saat itu. Banyak yang
sengaja datang menyapa keluarga kami. Ya walaupun sebenarnya hanya 3 orang yang
berada di dalamnya. Lingkungan rumahku cukup baik. Orangnya ramah ramah dan
senantiasa membantu, desa ini memang begitu masih asli kedesaannya. Ya, desa
yang menjadi sejarah pemain tinju nasional kita, Cris Jhon. Kami sedang di
teras rumah, bersama-sama berbincang bincang tentang semua hal. Dan ibu masuk
kedalam rumah. Ada panggilan masuk rupanya. Kemudian ia angkat telepon dan aku
menyusulnya. Ibuku membiarkan telepon genggamnya berada 50cm di kirinya. Ia
hanya memandangi tanpa berkata dan berekspresi apapun.
Dan aku meletakkannya tepat desebelah
telinga kananku. Aku mendengar seperti banyak orang yang sedang ricuh disana.
Banyak dan begitu banyak sekali. Ada yang sedang marah marah, ada yang sedang
tertawa, ada yang sedang merencanakan sesuatu mungkin. Dan aku mendengar satu
suara lelaki yang begitu jelas, bahkan memekakkan telinga. Jelas sekali, jelas
sekali dia sedang berkata yang tidak tidak. Bahkan aku memegang telepon dengan
sangat erat, dan sesekali aku turunkan karena aku tak tahan. Dia berkata dengan
penuh rasa tak bersalah, dia berkata dengan cara yang tidak wajar sebagai
seorang manusia. Bahkan dia menyebut iblis, wanita jalang, setan lah seolah
olah dia sedang berbicara dengan laki laki lah minimal. Yang dia hadapi adalah
wanita, yang notabennya tidak berdaya. Bahkan jika dia tahu, dia sedang bicara
dengan gadis berumur 17 tahun yang dia kenal sebagai sepupunya sendiri. Apakah
dia tidak malu? Dimana hati nuraninya? Sebagai seorang manusia lah minimal.
Mana?
Aku benar benar tak pandai ungkapkan kata
kata, bahkan untuk mengungkapkan bahwa aku sangat mencintai ibuku pun sangat
sulit.
semoga kedepannya kmu akan lebih bahagia lin :'(
BalasHapusterimakasih komentarnya :)
BalasHapusaku yakin semua orang bahagia. dan aku merasakan bahagia sejak aku lahir.. aku fikir semua ini Alloh berikan untuk memperkuatku dalam menghadapi kehidupanku selanjutnya. sehingga aku tidak putus asa dan tidak mudah mengeluh.
aku bahagia menjalani hidup seperti iyu, sehingga ada yang aku tulis untuk aku bagikan kepada orang orang, ibaratnya aku hidup seperti ini saja masih bisa tersenyum. kalian yang lebih beruntung harusnya bisa tertawa...
berikan nama yah :)